Kiat Belajar Islam dengan Benar
Tidak sedikit orang yang bersemangat belajar Islam, tapi ternyata menyimpang dalam memahami Islam. Banyak sekali aliran keagamaan yang mengklaim Islam sehingga tidak jarang membuat sang pembelajar Islam dibuat pusing dengan Islam. Banyaknya juga ranting dari ajaran Islam tidak sedikit membuat frustasi orang Islam dalam mempelajari agamanya. Ini adalah di antara sekian tantangan dan hambatan yang akan ditemukan oleh setiap orang yang belajar Islam
Hal pertama yang harus diingat adalah, bahwa Islam—sebagaimana terungkap dalam “hadits Jibril”—adalah agama yang terdiri dari iman, islamdan ihsan. Artinya, Islam adalah agama yang terdiri dari aqidah, ibadah, dan akhlaq. Maka fokus utama kita dalam belajar Islam adalah ketiga bidang tersebut. Ini disebut oleh para ulama sebagai domain ilmu fardlu ‘ain. Siapapun orangnya, dari latar belakang apapun asalnya, dan apapun pekerjaannya mutlak memahami aqidah, ibadah, dan akhlaq Islam dengan benar. Harus diprogram dalam kehidupan setiap muslim agar target menguasai aqidah, ibadah, dan akhlaq bisa tercapai.
Untuk ibadah, mengingat cakupannya yang luas—tidak hanya ibadah mahdlah, melainkan juga aspek halal-haramdalam urusan kehidupan manusia lainnya—maka para ulama membatasinya terlebih awal dalam bidang ibadah yang wajib dilakukan dalam rutinitas harian, bulanan, atau tahunan, seperti shalat, zakat, shaum, dan haji bagi yang sudah mampu. Termasuk juga aspek ibadah dalam arti luas yang erat kaitannya dengan profesi keseharian; jika seorang pedagang, maka ia harus memahami halal-haram seputar dagang; jika seorang pejabat, maka ia harus memahami halal-haram seputar pemerintahan; jika seorang guru, maka ia harus memahami halal-haramseputar dunia pendidikan yang digelutinya, dan demikian seterusnya. Setelah itu, baru ia diperkenankan untuk menimba ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, sebagaimana dipesankan oleh Nabi saw kepada Mu’adz ibn Jabal yang hendak diutusnya menjadi hakim di Yaman, ada tiga hal yang harus diperhatikan terkait sumber ilmu dan metode yang benar dalam menggali ilmu, yaitu: (1) merujuk pada al-Qur`an. Jika tidak ditemukan, baru (2) merujuk pada hadits. Jika tidak ditemukan, maka (3) merujuk pada ijtihad pribadi berdasarkan ilmu. Pesan Nabi saw ini menggambarkan hierarki yang benar dari sumber ilmu yang harus dipeajari. Yakni bahwa belajar Islam haruslah dengan merujuk pada al-Qur`an, sunnah, baru ijtihad.
Rujukan pertama, al-Qur`an, mengindikasikan harusnya belajar Islam yang merujuk pada al-Qur`an, dimana al-Qur`an digali secara tuntas dari al-Fatihah sampai an-Nas. Masih banyaknya fenomena umat Islam yang gemar melaksanakan syirik dan bid’ah, itu disebabkan al-Qur`an tidak dikaji dengan tuntas, ayat-ayat tentang syirik dan bid’ah dilewatkan begitu saja. Maka dari itu masukkan dalam program belajar setiap muslim kajian al-Qur`an yang dikupas dengan tuntas.
Rujukan kedua, hadits, ini menggambarkan hierarki setelah al-Qur`an. Yakni bahwa mengkaji al-Qur`an harus dengan haditsnya. Dalam belajar memahami al-Qur`an haruslah dirujuk pula bagaimana Nabi saw menjelaskan maksud ayat-ayat al-Qur`an yang dimaksud. Fenomena menjamurnya aliran sesat di zaman modern ini disebabkan al-Qur`an dipahami menurut kepalanya sendiri dengan mengabaikan penjelasan dari Nabi saw. Padahal semestinya mengkaji al-Qur`an harus disandingkan dengan haditsnya. Baru setelah itu, jika al-Qur`an dan hadits tidak mengupasnya, setiap muslim diperkenankan untuk berijtihad. Itupun dalam hal-hal yang memang tidak diatur oleh al-Qur`an dan hadits, dan dengan sendirinya tidak boleh menentang al-Qur`an dan hadits.
Ketiga, memperhatikan otoritas keilmuan. Maksudnya kita harus belajar dari orang-orang yang memang memiliki otoritas dalam keilmuan yang dimaksud. Cara untuk mengukur seseorang memiliki otoritas keilmuan adalah dengan merujukkannya pada point 2 di atas. Sebab metode belajar Islam seperti itu telah dipertahankan oleh para ulama dari sejak generasi salaf sampai generasi khalaf. Maka dari itu sebenarnya mudah saja untuk menentukan sebuah pembelajaran Islam menyimpang atau tidak, yakni dengan mengukur apakah pembelajaran tersebut memakai metode yang benar dan merujukkannya pada tokoh-tokoh otoritatif ataukah tidak.
Sepanjang sejarah keilmuan Islam telah tercatat beberapa ulama yang otoritatif di bidangnya. Dalam bidang ilmu tafsir/kajian al-Qur`an, nama-nama seperti Ibn Jarir at-Thabari, al-Qurthubi, Ibn Taimiyyah, Ibn Katsir, dan yang menempuh metode keilmuan seperti mereka harus dijadikan rujukan. Dalam bidang ilmu hadits, nama-nama seperti Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, an-Nasa`i, al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani, as-Syaukani, as-Shan’ani, dan yang menempuh metode keilmuan seperti mereka harus dijadikan rujukan. Dalam bidang fiqh, nama-nama seperti as-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad ibn Hanbal, tidak boleh dikesampingkan. Dalam bidang aqidah-akhlaq, nama-nama seperti Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, al-Ghazali, dan yang menempuh metode keilmuan seperti mereka tidak boleh diabaikan. Sebagian saudara kita menamai manhajkeilmuan/agama seperti ini dengan nama manhaj as-salafus-shalih (generasi awal yang shalih), sebab memang metode beragama para ulama yang otoritatif tersebut mempertahankan metode beragama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dan generasi salaf sesudahnya.
Maka dari itu, kalau kita bergabung di sebuah majelis ta’lim yang nama-nama ulama di atas asing dari telinga kita sepanjang kita belajar, malah yang terdengar nama-nama lain yang tidak pernah jelas apakah metode yang ditempuh mereka sesuai dengan ketiga prinsip di atas, sebaiknya tinggalkan segera majelis ta’lim tersebut karena khawatir akan menyebabkan pemahaman keagamaan kita menyimpang dari yang semestinya. Termasuk juga majelis ta’lim yang lebih memprioritaskan bacaan-bacaan yang tidak jelas rujukan sunnahnya dibanding kajian al-Qur`an dan hadits itu sendiri. Atau majelis ta’lim yang dalam mengajarkan agamanya tidak selalu menyandarkannya pada dasar al-Qur`an dan sunnah, melainkan banyak pendapat pribadinya.
Perhatian kepada ulama yang mempunyai otoritas ilmu sebagaimana disebutkan di atas bukan berarti membenarkan taqlid—sebab ulama-ulama yang disebutkan di atas tidak mengajarkan ilmu dengan metode taqlid yang mengabaikan hujjah—melainkan semata-mata memenuhi tuntunan al-Qur`an yang harus membedakan mana orang yang berilmu dan mana orang yang bodoh
Az-Zumar .39. (Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran